Balita Diajarkan Calistung, Saat SD Potensi Terkena 'Mental Hectic'



Oleh: Hj. Dina Asterina, Psikolog
Disampaikan pada pertemuan orang tua siswa TKNIL MARTAPURA
Kamis, 14 Maret 2013

Balita Diajarkan Calistung, Saat SD Potensi Terkena 'Mental Hectic'

Minggu, 18 Juli 2010, 21:57 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anak usia di bawah lima tahun (balita) sebaiknya tak buru-buru diajarkan baca tulis dan hitung (calistung). Jika dipaksa calistung si anak akan terkena 'Mental Hectic'.

''Penyakit itu akan merasuki anak tersebut di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD). Oleh karena itu jangan bangga bagi Anda atau siapa saja yang memiliki anak usia dua atau tiga tahun sudah bisa membaca dan menulis,'' ujar Sudjarwo, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas, Sabtu (17/7).

Oleh karena itu, kata Sudjarwo, pengajaran PAUD akan dikembalikan pada 'qitah'-nya. Kemendiknas mendorong orang tua untuk menjadi konsumen cerdas, terutama dengan memilih sekolah PAUD yang tidak mengajarkan calistung.

Saat ini banyak orang tua yang terjebak saat memilih sekolah PAUD. Orangtua menganggap sekolah PAUD yang biayanya mahal, fasilitas mewah, dan mengajarkan calistung merupakan sekolah yang baik. ''Padahal tidak begitu, apalagi orang tua memilih sekolah PAUD yang bisa mengajarkan calistung, itu keliru,''  jelas Sudjarwo.

Sekolah PAUD yang bagus justru sekolah yang memberikan kesempatan pada anak untuk bermain, tanpa membebaninya dengan beban akademik, termasuk calistung.  Dampak memberikan pelajaran calistung pada anak PAUD, menurut Sudjarwo, akan berbahaya bagi anak itu sendiri. ''Bahaya untuk konsumen pendidikan, yaitu anak, terutama dari sisi mental,'' cetusnya.

Memberikan pelajaran calistung pada anak, menurut Sudjarwo, dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. ''Jadi tidak main-main itu, ada namanya 'mental hectic', anak bisa menjadi pemberontak,'' tegas dia.
Kesalahan ini sering dilakukan oleh orang tua, yang seringkali bangga jika lulus TK anaknya sudah dapat calistung. Untuk itu, Sudjarwo mengatakan, Kemendiknas sedang gencar mensosialisasikan agar PAUD kembali pada fitrahnya. Sedangkan produk payung hukumnya sudah ada, yakni SK Mendiknas No 58/2009. ''SK nya sudah keluar, jadi jangan sembarangan memberikan pelajaran calistung,'' jelasnya.

Sosialisasi tersebut, kata Sudjarwo, telah dilakukan melalui berbagai pertemuan di tingkat kabupaten dan provinsi.  Maka Sudjarwo sangat berharap pemerintah daerah dapat menindaklanjuti komitmen pusat untuk mengembalikan PAUD pada jalurnya. ''Paling penting pemda dapat melakukan tindak lanjutnya,'' jawab dia.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Srie Agustina, Koordinator Komisi Edukasi dan Komunikasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), menyatakan, memilih mensosialisasikan produk pendidikan  merupakan bagian dari fungsi dan tugas BPKN untuk melakukan perlindungan terhadap konsumen. 

Dalam hal ini, kata Srie, BPKN memprioritaskan sosialisasi pada anak usia dini. Sebab berdasarkan Konvensi Hak Anak, setiap anak memiliki empat hak dasar.  Salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan dalam kerugian dari barang dan produk, termasuk produk pendidikan. ''Untuk itu sejak dini anak dilibatkan, karena di usia itulah pembentukan karakter terjadi,'' papar Srie.



Namun menurut Srie, mengedukasi tentang sebuah produk harus menggunakan metode khusus.  Tidak dapat berwujud arahan dan larangan, namun dengan cara yang menyenangkan, salah satunya dengan festival mewarnai sebagai salah satu teknik untuk memberikan edukasi. ''Dengan mewarnai, mereka bisa terlibat dan merasa lebur di dalamnya, selain itu dalam gambar yang diwarnai tersebut disisipkan pesan-pesan yang ingin disampaikan,'' pungkasnya.

Mendikbud: PAUD Bukan Tempat Belajar Calistung
Minggu, 17 Februari 2013 22:24:20 - Oleh : kemdikbud




DEPOK. Sekali lagi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan sekolah dasar (SD) tidak boleh memberikan tes baca tulis hitung (calistung) kepada calon murid. Pendidikan  anak usia dini (PAUD) bukanlah tempat bagi anak untuk belajar calistung
Hal itu Mendikbud sampaikan pada Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, Senin (11/1).
Nuh mengatakan, mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Oleh karena itu, anak yang akan masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung.
“Bila sekolah dasar memberikan tes calistung kepada calon murid, maka anak-anak akan diajari calistung sejak taman kanak-kanak (TK). Jika di TK anak sudah diajari calistung, maka sejak masuk PAUD ia sudah diperkenalkan huruf. Jangan-jangan semenjak di dalam kandungan sudah diminta belajar,” kata Nuh melontarkan canda sembari menggambarkan bahwa tuntutan yang berat kepada anak usia dini akan membuat anak tersebut tertekan.
Masa usia dini, adalah masa anak belajar melalui kegiatan bermain, atau kegiatan yang menyenangkan. Hal ini sering pula diingatkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal, Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog di beberapa kali kesempatan.
Lydia yang juga akrab dikenal sebagai Reni Akbar-Hawadi pernah mengungkapkan bahwa memaksakan anak melakukan sesuatu yang sebenarnya ia belum siap justru akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan, bahkan akhirnya memunculkan penolakan dari anak.
Meski demikian, mengajarkan calistung kepada anak usia dini boleh saja dilakukan, asalkan anak tersebut memang tertarik dan memiliki kemampuan. Selain itu, metode pengajaran pun tidak boleh meninggalkan prinsip bermain dan menyenangkan.
Akan tetapi, penguasaan calistung seharusnya tidak menjadi fokus pembelajaran, Metode pendekatan di PAUD, kata Reni, tidak hanya didasarkan pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek motorik. Ini karena perkembangan anak usia 0-6 tahun masih terfokus pada aspek motorik, sehingga metode pembelajarannya pun lebih baik menekankan pengembangan soft skill, dan tentunya dengan cara bermain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar